Memoar

Doa Ibu

Oleh Noer Cahya

 

Di suatu malam yang hening, di ruang rumah sakit yang dingin dan asing, aku duduk di samping ranjang kecil, tempat bayiku terbaring lemah. Usianya bahkan belum genap satu bulan ketika tubuh mungilnya yang lemah harus melawan serangan diare yang terus menerus. Wajahnya memucat, kulitnya kehilangan warna, dan tubuhnya mulai tampak lemas. Setiap kali aku melihatnya, hatiku bergetar dan nyaris tak kuat menahan air mata.

“Kami harus memasang infus, Bu,” ujar perawat dengan suara lembut, tetapi tegas. Aku hanya bisa mengangguk, mencoba menyembunyikan ketakutanku, tetapi suaraku tak keluar.

Namun, memasukkan jarum infus ke dalam tubuh kecilnya ternyata bukan perkara mudah. Beberapa kali perawat mencoba, tetapi tubuhnya yang kecil dan dehidrasi membuat uratnya sulit ditemukan. Setiap tusukan jarum yang tak berhasil, aku merasa ada duri yang menusuk jauh ke dalam hatiku. Bayiku yang tak mengerti apa-apa, menangis dengan suara kecil yang lemah. Aku ingin sekali menggantikannya, mengalihkan rasa sakit itu kepada diriku, tetapi aku hanya bisa menatap, panik dan tak berdaya.

“Bu, mohon bersabar, ini demi kebaikannya,” suara perawat memecah lamunanku. Aku mengangguk pelan, namun air mata tetap jatuh, membasahi wajahku.

Dalam hati, aku terus berdoa. “Ya Allah, tolong selamatkan anakku. Berikan dia kekuatan untuk bertahan. Aku mohon.” Doa itu meluncur dengan segala kelemahan dan kekhawatiranku sebagai seorang ibu yang tidak pernah menyangka akan menghadapi momen seperti ini secepat ini.

Setelah beberapa kali mencoba, akhirnya infus berhasil terpasang. Aku melihat cairan infus yang aku perhatikan ditambah cairan obat diare menetes pelan, berusaha memenuhi tubuh mungilnya yang kering karena dehidrasi. Meski tubuhnya tetap lemah dan terbaring tak berdaya, setidaknya ada sedikit kelegaan bahwa perawatan akhirnya bisa dilakukan. Tapi, ketakutanku belum juga hilang. Aku hanya bisa terus memandangi wajahnya, memegang tangannya yang kecil, dan berharap ia bisa merasakan kehangatan dan kasih sayangku.

“Ma, aku takut…” kataku berbisik, memanggil nama ibuku dalam hati. Sejenak aku merindukan kehadirannya di sampingku, membisikkan bahwa semuanya akan baik-baik saja. Tetapi aku tahu, saat ini, anakku lah yang membutuhkan kehadiran dan kekuatanku.

Malam itu, sepanjang waktu aku hanya duduk, berdoa, dan berharap. Setiap detik terasa begitu panjang dan menyesakkan. Dalam pasrah, aku memejamkan mata sejenak, membayangkan ia kembali ceria dan sehat. Aku mencoba membayangkan senyum kecilnya yang pernah membuat hatiku hangat, tetapi ketakutan terus menyergap. Di titik itu, aku benar-benar merasa tak berdaya, terperangkap antara cinta yang begitu dalam dan ketidakmampuan untuk menghilangkan sakitnya.

Ketika pagi tiba, ia tampak sedikit lebih tenang, meski tubuhnya tetap lemah. Infus yang sempat susah dimasukkan akhirnya mulai bekerja perlahan-lahan bersamaan dengan mengerasnya kotoran yang keluar dari dub*rnya. Sekilas, aku merasakan kelegaan meskipun jauh di dalam hatiku, kecemasan belum sepenuhnya pergi. Aku hanya bisa berharap, seiring waktu, tubuh kecilnya akan pulih, dan ia bisa kembali sehat.

Pada akhirnya, saat hari itu berlalu dan kesehatannya berangsur pulih, aku menyadari bahwa doa adalah kekuatan terbesar yang kumiliki di tengah ketidakberdayaan ini. Bayiku masih tidur di ranjang kecilnya, dan aku tetap berada di sisinya, bersumpah untuk selalu menjaga, apapun yang terjadi.

 

Tangismu adalah Lukaku

Pada akhirnya bayi kecilku tumbuh menjadi balita yang ceria meski sedikit cengeng, mungkin karena dia perempuan yang senjata utamanya adalah air mata bila menginginkan sesuatu. Putriku tumbuh sehat dalam limpahan kasih sayang seluruh keluarga, karena dia cucu perempuan satu-satunya dari Orang Tuaku.

Hingga di suatu pagi dengan langit cerah dan udara segar, aku meluangkan waktu untuk mengantar anakku ke sekolah TK, sebuah momen langka yang begitu aku nantikan. Biasanya aku hanya bisa menunggunya bercerita sepulang sekolah tentang apa yang terjadi di sana. Tetapi, pagi itu, aku ingin menyaksikan sendiri senyum polosnya saat berlari memasuki gerbang sekolah, tanpa beban dan penuh semangat.

Setelah mengantarnya, aku memilih duduk di bangku taman kecil di samping area bermain. Tak jauh dari sana, sekelompok ibu-ibu berkumpul, berbincang dan menunggu anak-anak mereka. Dari kejauhan, aku melihat anak-anak yang bermain, berlari, dan terkadang berselisih.

“Eh, anakku kemarin hampir didorong sama si Tono itu,” kata seorang ibu yang duduk tak jauh dariku.

“Iya, anakku juga. Mereka mainnya kasar banget,” sahut ibu lain, wajahnya tampak kesal.

Aku hanya tersenyum mendengar percakapan itu. Entah bagaimana, melihat mereka yang terbawa emosi setiap kali anak-anak mereka berselisih atau sekadar bertengkar kecil membuatku berpikir, kok seperti di sinetron, ya? Aku merasa mereka terlalu berlebihan.

Namun, hari itu, sebuah peristiwa merubah pandanganku. Saat sedang asyik menikmati udara pagi, aku tiba-tiba mendengar tangisan dari arah area bermain. Ketika aku melihat lebih dekat, ternyata anakku, dengan pipi memerah dan air mata yang mulai mengalir. Seorang anak lain, yang mungkin tanpa sengaja, telah mendorongnya hingga terjatuh. Melihat itu, tiba-tiba ada gelombang emosi yang tidak bisa kutahan. Rasanya dadaku bergemuruh, ingin marah, ingin melindungi.

Aku langsung bergegas menghampirinya. “Kamu kenapa, sayang?” tanyaku sambil mengusap-usap punggungnya. Anakku hanya menangis, sambil menunjuk temannya yang berdiri tak jauh dari kami. “Dia dorong aku, Ma…” suaranya parau di sela tangis.

Tanpa berpikir panjang, aku menatap anak yang diduga telah mendorongnya. Seorang ibu, yang sepertinya ibunya anak tersebut, mendekat, menyadari situasi yang mulai tegang. “Maaf ya, Bu, mungkin mereka cuma main-main,” katanya, dengan senyum canggung.

Namun, dalam hati, aku sulit menerima. Anakku diperlakukan seperti ini? Bagaimana mungkin aku bisa diam saja? Perasaan itu begitu kuat, lebih kuat daripada yang pernah kubayangkan sebelumnya. Seketika, aku memahami kenapa ibu-ibu yang tadi tampak begitu kesal setiap kali anak mereka berselisih. Aku pun, meski sebelumnya merasa bisa tenang, ternyata tak kuasa menahan emosi saat hal ini terjadi pada anakku.

Aku mengambil napas panjang, berusaha menenangkan diri. “Iya, Bu, mungkin mereka mainnya memang agak kasar. Tapi sebaiknya kita ingatkan, supaya tidak saling menyakiti,” kataku, berusaha sebijak mungkin meski hatiku terasa sakit.

Ibu itu mengangguk pelan, lalu memanggil anaknya dan memberitahu dengan nada lembut, “Lain kali mainnya hati-hati ya, jangan dorong-dorongan, ya?”

Anakku mulai tenang, meski matanya masih sembab dan pipinya kemerahan. Aku menggenggam tangannya erat, merasa seolah-olah aku ingin memeluk dan melindunginya dari segala bentuk rasa sakit, sekecil apa pun. Rasa marahku perlahan mereda, digantikan oleh kesadaran bahwa anak-anak memang sedang dalam masa belajar dan berkembang. Kadang mereka tidak tahu batasan, dan di sinilah peran orang tua sebagai pengarah.

Sepanjang perjalanan pulang, aku terus memikirkan kejadian itu. Pengalaman sederhana namun penuh emosi. Betapa saat anak kita terluka, bahkan hanya sedikit, hati kita sebagai orang tua ikut tercabik. Aku melihatnya berulang kali dari kaca spion, memastikan dia baik-baik saja. “Kamu nggak apa-apa kan, sayang?”

Dia mengangguk pelan, bibirnya sudah kembali tersenyum, meskipun sedikit lesu. “Iya, Ma. Aku nggak apa-apa.”

Mendengar suaranya yang polos, hatiku teriris lagi. Aku sadar, meski kita tak selalu bisa melindungi mereka dari setiap luka, tetap saja naluri ingin selalu menjaganya tak pernah bisa padam. Hari itu, aku belajar bahwa kadang emosi kita sebagai orang tua bisa mengaburkan logika. Hal-hal yang terlihat sederhana dari luar bisa berubah menjadi luar biasa saat menyangkut anak kita sendiri.

Sambil mengelus kepalanya yang tertidur dalam perjalanan pulang, aku bergumam dalam hati, “Maafkan Mama yang tadi sempat terpancing emosi. Mama cuma ingin kamu selalu baik-baik saja.” Hari itu, aku menyadari bahwa ada begitu banyak hal yang perlu kujaga, bukan hanya perasaan anakku, tetapi juga emosiku sebagai ibu. Sebuah pelajaran kecil yang ternyata begitu besar bagi hati seorang ibu.

 

Kegagalan adalah Sukses yang Tertunda

Dengan bertambahnya usia, semakin tinggi sekolahnya, berbeda pula peristiwa yang dialami anakku dan menyita perhatianku.

Hari itu, aku melihat putriku, Dinda, duduk termenung di pojok ruang tamu, wajahnya terbenam di telapak tangan. Hari pengumuman kelulusan sekolah menengah pertama yang seharusnya jadi momen bahagia baginya, justru berubah jadi hari yang penuh kekecewaan. Nilainya memang tidak seburuk yang aku bayangkan, tetapi itu belum cukup untuk bisa masuk ke sekolah menengah atas favorit yang diimpikannya.

“Ma, aku malu…” katanya pelan, suaranya nyaris tak terdengar. “Teman-temanku bisa masuk ke sekolah favorit, tapi aku…” Ucapannya terhenti, matanya mulai sembab, bibirnya bergetar menahan tangis yang akhirnya pecah di hadapanku.

Sebagai ibu, hatiku serasa tersayat melihat air mata yang bergulir di pipi putriku. Aku berusaha menahan emosi, mengingatkanku pada perjuangan kami selama ini. Betapa dia sudah berusaha keras, belajar sampai larut malam, mengerjakan tugas-tugas tanpa henti. Namun, kenyataan ini seolah membantingnya ke dalam jurang keraguan dan kehilangan kepercayaan diri.

Aku duduk di sebelahnya, mencoba meraih tangannya. “Dinda, dengarkan Mama, ya. Kamu bukan anak yang bodoh atau malas. Nilai ini bukan segalanya,” kataku dengan suara lembut, meskipun dalam hati aku merasakan perih yang sama.

Dinda menggeleng pelan, menghapus air matanya dengan punggung tangan. “Tapi, Ma, bagaimana kalau aku tidak bisa masuk ke sekolah yang bagus? Aku tidak ingin mengecewakan Mama dan Papa…” suaranya parau, dan rasa bersalah tergambar jelas di matanya.

Aku mencoba menenangkan diri sebelum menjawabnya. “Nak, yang penting bukan seberapa cepat kita mencapai tujuan, tetapi seberapa kuat kita terus berjalan meski terjatuh.” Aku berusaha menguatkannya, meski aku tahu, kata-kata ini mungkin belum sepenuhnya bisa diterimanya saat ini.

Dalam beberapa hari ke depan, aku dan suamiku bekerja keras mencari opsi sekolah lain yang bisa jadi tempat terbaik bagi Dinda. Setiap malam, aku berdoa dalam diam, berharap Tuhan memberikan jalan terbaik bagi anakku agar tetap percaya bahwa dia mampu. Kami mendiskusikan sekolah-sekolah lain yang juga berkualitas dan memiliki reputasi baik. Meski bukan sekolah favorit, kami tahu bahwa kesempatan itu tetap ada.

Namun, ketika akhirnya kami mencoba berbicara dengan Dinda tentang pilihan lain, aku melihat kebingungan di matanya. “Tapi, Ma, apa mereka akan menerimaku?” katanya ragu. “Teman-temanku mungkin mengira aku sudah tidak punya harapan. Aku malu, Ma…”

Seketika, aku merasakan emosi yang sulit kujelaskan. Betapa sakit hati melihat anakku dirundung ketakutan, merasa dirinya tidak cukup baik, dan takut dicap sebagai anak yang gagal. Aku mendekap Dinda erat, sambil berkata, “Dinda, kamu berharga bukan karena nilai atau sekolah tempat kamu belajar. Kamu punya kemampuan, semangat, dan ketulusan yang Mama tahu bisa membawamu jauh.”

Akhirnya, setelah pencarian panjang, kami menemukan sebuah sekolah yang, meskipun bukan pilihan pertama, tetap memiliki lingkungan belajar yang baik dan suasana yang mendukung perkembangan anak-anak. Dengan keyakinan dan doa yang tak henti, kami mendaftarkannya ke sana. Namun, aku bisa melihat dari wajahnya bahwa ia masih belum sepenuhnya yakin.

Hari pertama masuk sekolah menengah atas itu datang, dan aku menemaninya hingga depan gerbang sekolah. Aku bisa merasakan ketegangannya, bagaimana ia melihat siswa-siswa lain dengan tatapan cemas, seolah mencari persetujuan dalam diam. Aku meremas tangannya dengan lembut, berbisik, “Jangan khawatir, Nak. Kamu akan baik-baik saja. Mama dan Papa akan selalu ada untukmu, apapun yang terjadi.”

Hari demi hari berlalu, dan meski awalnya berat, perlahan aku melihat perubahan pada Dinda. Ia mulai akrab dengan teman-teman barunya, menemukan hal-hal yang ia sukai di sekolah barunya, bahkan ikut dalam beberapa kegiatan yang membuatnya semakin percaya diri. Di kelasnya Dinda dipercaya menjadi bendahara kelas. Satu per satu, dinding ketidakpercayaan diri itu mulai runtuh. Aku dan suamiku terus memberi dukungan, hadir di setiap acara sekolahnya, dan mendengarkan cerita-ceritanya setiap kali ia pulang. Dan ketika hari pembagian raport, hasilnya Dinda berada pada ranking sepuluh dari tiga puluh siswa di kelasnya. Menunjukkan bahwa Dinda bukan siswa terburuk di kelasnya. Tentu saja hal itu membuatnya makin percaya diri.

Suatu sore, saat kami sedang duduk di ruang tamu, Dinda tiba-tiba tersenyum padaku, senyum yang lama tidak kulihat sejak hari kelulusannya. “Ma, terima kasih, ya. Kalau bukan karena Mama, aku mungkin tidak akan sampai sejauh ini.”

Aku menarik napas panjang, menahan air mata haru yang ingin tumpah. “Mama bangga padamu, Nak. Kamu kuat, lebih kuat dari yang kamu kira.”

Malam itu, aku menatap langit dan mengucapkan syukur yang mendalam. Sebagai orang tua, menyaksikan anak kita bangkit setelah terjatuh adalah anugerah tak ternilai. Dinda mungkin tak tahu seberapa dalam luka itu terasa di hati kami setiap kali melihatnya menangis atau merasa gagal. Namun, kini, aku yakin bahwa luka itu tidak sia-sia. Kami telah melalui hari-hari panjang itu bersama, dan sebagai orang tua, inilah kebahagiaan kami—melihat anak kami bangkit dengan percaya diri yang baru. Bahkan tiga tahun di sekolah itu menjadi jembatan Dinda diterima melalui jalur undangan masuk Perguruan Tinggi Negeri impiannya. Sesuatu yang semakin membuatnya bersemangat menempuh Pendidikan ke jenjang lebih tinggi.

 

Kehilangan yang Mengguncang

Hari itu, setelah bertahun-tahun menanti, akhirnya putriku, Dinda, menyampaikan kabar yang membuat hatiku berbunga-bunga. Dia dan kekasihnya, Arif, yang sudah menjalin hubungan sejak masa kuliah, telah memutuskan untuk melangkah ke jenjang lebih serius yaitu pernikahan. Mereka sudah menetapkan hari, dan meski masih harus menunggu beberapa bulan, persiapan demi persiapan mulai mereka kerjakan. Dinda dan Arif sudah bersama selama tujuh tahun, dan aku telah menyaksikan sendiri kedekatan dan keharmonisan hubungan mereka yang terjalin sejak awal masa kuliah di universitas negeri tempat mereka menuntut ilmu. Kini, harapan itu nyaris menjadi kenyataan, setelah mereka berdua sama-sama bekerja.

Sebagai seorang ibu, melihat Dinda begitu bahagia membuat hatiku penuh dengan rasa syukur. Aku merasa, setelah segala jerih payah, semua usaha, dan segala tantangan yang Dinda lalui, kini tiba masanya dia menemukan kebahagiaan sejati bersama seseorang yang akan mendampinginya di masa depan. Aku bahkan sudah mulai membayangkan masa-masa di mana aku bisa melihat Dinda dalam balutan gaun pengantin, berdampingan dengan Arif, pemuda yang selama ini selalu kuterima dengan tangan terbuka.

Namun, segalanya berubah dalam sekejap. Tanpa peringatan, tanpa tanda-tanda sebelumnya, keluarga Arif tiba-tiba menghubungi kami. Aku masih ingat jelas suara calon ibu mertuanya di telepon, suaranya tenang, namun dingin. “Maaf, Bu,” katanya singkat, “Kami sudah berpikir matang-matang, setelah diskusi dengan keluarga besar, kami memutuskan untuk membatalkan rencana ini. Kami tidak bisa meneruskan pernikahan antara Dinda dan Arif.”

Aku terdiam sejenak, berusaha memahami kata-katanya yang terasa begitu absurd dan tak masuk akal. “Apa maksud Ibu?” tanyaku, berusaha menahan gemuruh emosi yang mulai memuncak.

“Maafkan kami,” lanjutnya, tanpa memberikan alasan yang jelas. Tak ada penjelasan, tak ada pembicaraan yang bisa dijadikan pegangan. Hanya keputusan sepihak yang terasa bagaikan hantaman di dada, menghancurkan harapan yang sudah lama tumbuh dalam keluarga kami.

Ketika Dinda tahu, aku melihat dia hancur, seolah seluruh dunianya runtuh. Tangisnya pecah, terisak dalam pelukanku. “Ma, kenapa? Apa yang salah? Apa aku tidak cukup baik untuk mereka?” tanyanya dengan suara bergetar, wajahnya memerah dan basah oleh air mata.

Hati ibu mana yang tak remuk melihat anaknya terluka sedalam itu? Hancur, tersisih, dan dikecewakan oleh seseorang yang diharapkan akan menjadi masa depannya. Aku bisa merasakan luka yang tak terlihat itu, luka yang jauh lebih dalam dari sekadar patah hati. Itu adalah luka yang menancap dalam harga dirinya, membawanya pada pertanyaan-pertanyaan yang tak bisa kujawab. Di titik itu, aku tahu, rasa sakitku sebagai ibu pun tak kalah perihnya.

Kepalaku pusing memikirkan semua rencana yang sudah kami susun: undangan yang sudah dipesan, pakaian yang sudah dirancang, bahkan tempat acara yang sudah dibayar sebagian. Semua terasa sia-sia dan berantakan dalam sekejap. Sakit hati, malu, dan perasaan terhina membekas dalam. Aku merasa direndahkan, merasa seolah Dinda ditolak tanpa alasan yang jelas, dan dalam diam, aku pun terluka sama dalamnya.

Namun, sebagai seorang ibu, aku tahu aku harus tegar. Aku harus berdiri di samping Dinda, menenangkannya, mendampinginya melalui masa-masa sulit ini. Di hadapannya, aku berusaha tetap kuat, tak ingin air mata yang kubendung ini jatuh di depannya. Setiap kali dia mengeluh tentang rasa sakit dan kecewa, aku berusaha meyakinkannya. “Nak, kamu adalah wanita yang luar biasa. Keluarga yang tidak bisa menerimamu berarti tidak bisa melihat kebaikan yang ada dalam dirimu. Kita harus percaya, Tuhan punya rencana yang lebih indah untukmu.”

Hari-hari yang panjang pun dimulai. Aku mendampinginya, menemaninya melewati malam-malam penuh tangis dan perasaan terluka. Setiap pagi, aku bangun lebih awal untuk memastikan dia memiliki energi untuk menghadapi hari, entah itu dengan menyiapkan sarapan favoritnya atau dengan hanya duduk di sebelahnya, membiarkan dia bercerita atau sekadar menangis. Rasa sakit itu begitu nyata, begitu dalam, dan meskipun hatiku sendiri terluka, aku menelan semua demi Dinda.

Di satu sisi, aku ingin menghiburnya bahwa ada banyak pria lain di dunia ini, bahwa perjalanannya belum usai hanya karena satu hubungan yang kandas. Namun, aku juga tahu bahwa saat itu, kata-kata seperti itu tak akan mampu menenangkan luka hatinya yang masih baru. Sahabat-sahabat Dinda mendukung dengan mengajaknya perawatan ke salon, menikmati kuliner keliling kota, atau bahkan sekedar nongkrong di café untuk mendengarkan curhatan Dinda sambil memberinya kekuatan.

Suatu hari, ketika kami sedang duduk berdua di ruang tamu, dia berkata pelan, “Ma, aku takut tidak akan pernah bisa merasakan bahagia lagi. Aku sudah membayangkan masa depan bersamanya. Tujuh tahun, Ma. Tujuh tahun itu bukan waktu yang sebentar.”

Aku mengelus bahunya dengan lembut, berusaha menahan air mataku. “Nak, kebahagiaan tidak tergantung pada orang lain. Kamu yang harus menemukan kebahagiaan itu dalam dirimu sendiri. Mungkin saat ini kamu belum melihatnya, tapi percayalah, kamu adalah orang yang kuat. Kamu bisa melewati ini.”

Malam itu, setelah dia tidur, aku duduk di kamar dan berdoa. Aku memohon kepada Tuhan agar memberikan kekuatan padanya, agar mengobati lukanya, agar menjauhkan perasaan bersalah yang tanpa alasan itu dari benaknya. Aku tahu ini bukan proses yang mudah, tapi sebagai ibu, aku juga tahu bahwa aku harus kuat demi anakku.

Sebagai orang tua, tak ada yang lebih mengiris hati selain menyaksikan anak kesayangan kita jatuh sakit, baik fisik maupun batin. Suatu ketika putriku, Dinda, harus dirawat di rumah sakit karena radang paru-paru setelah peristiwa ‘kegagalan’ dipinang, hatiku seolah ikut terluka, bahkan lebih dalam dari yang mampu kugambarkan. Meski dia adalah anak yang tegar, tak pernah mengeluh berlebihan, aku bisa melihat rasa tak nyaman itu terpancar jelas di matanya.

Dinda pernah berkata di tengah tangisnya, “Ma, kenapa aku harus mengalami ini semua? Aku capek.” Saat itu, rasanya hatiku hancur mendengarnya. Namun, aku tetap berusaha menenangkan, “Kita semua diuji, Sayang. Setiap cobaan adalah cara Tuhan mendekatkan kita pada-Nya. Ibu akan selalu ada di sini untukmu. Jangan pernah menyerah, ya.” Aku memeluknya, memberikan kekuatan, meski aku sendiri merasa rapuh.

Hal itu menjadikanku merenung, pantas saja banyak orang tua yang ‘seolah’ mencampuri urusan rumah tangga anaknya. Karena mereka tidak rela bila anaknya tersakiti oleh menantunya, baik secara fisik maupun verbal. Lepas dari pandangan benar atau salah, aku bisa memahami setelah mengalami sendiri betapa sakitnya hati kita melihat anak kita ‘disia-siakan’, diabaikan, tidak dianggap , tidak diperjuangkan, dihina dan dilukai perasaannya.

Dalam beberapa bulan, perlahan-lahan, aku melihat Dinda mulai bangkit. Dia kembali bekerja, menemukan hal-hal kecil yang bisa membuatnya tersenyum. Rasa sakit itu tak sepenuhnya hilang, namun aku bisa melihat bahwa dia mulai menerima kenyataan dan merangkai ulang mimpi-mimpinya. Setiap kali aku melihatnya berusaha melangkah lagi, hatiku dipenuhi dengan kebanggaan. Bagaimanapun, anakku adalah sosok yang kuat, dan melihatnya mulai bangkit membuat semua rasa sakit yang kurasakan sedikit demi sedikit terlupakan. Dinda mengatakan,”Ma, aku sudah bodoh selama tujuh tahun ini, aku gak ingin terpuruk lagi. Definisi jagain jodoh orang nich… hahaha.” Aku bersyukur setidaknya Dinda sudah menyadari bahwa dia harus bangkit, menunjukkan bahwa dia sangat berharga dan banyak pemuda beserta keluarganya  yang lebih menghargainya.

Pengalaman ini mengajarkanku, bahwa sebagai orang tua, kadang kita harus menyimpan rasa sakit kita sendiri agar bisa memberikan kekuatan bagi anak-anak kita. Kadang, luka tak terlihat yang menggores hati kita adalah harga yang harus dibayar agar anak kita bisa bangkit lagi. Dan di balik semua itu, terselip doa yang tak pernah putus, agar Tuhan memberikan kebahagiaan sejati untuk anakku di masa depan.

Waktu terus berjalan, dan meski cobaan datang silih berganti, aku percaya ada pelajaran besar yang sedang Tuhan berikan. Aku percaya bahwa di balik setiap sakit yang dialaminya, ada hikmah yang tak ternilai. Setiap air mata yang Dinda keluarkan menjadi alasan bagiku untuk semakin memperkuat doa, semakin erat bersandar pada Sang Pencipta. Rasa pasrah, ikhlas, dan penuh harap itu perlahan-lahan menjadi bagian dari hidupku, menguatkan keyakinan bahwa suatu hari Dinda akan bahagia.

Pada akhirnya, setiap kali kutemui senyum Dinda yang perlahan-lahan kembali cerah, ada harapan yang tak pernah padam di hatiku. Harapan bahwa dia akan tumbuh menjadi sosok yang kuat, sosok yang mampu bangkit dari segala kesulitan. Dan meski setiap sakitnya seperti sayatan di hatiku sendiri, sebagai ibu, aku tak akan pernah berhenti berharap dan berdoa untuk kebaikannya.

Pembelajaran hidup yang penuh liku namun juga penuh doa dan cinta. Inilah bentuk kasih sayang yang tak mengenal batas, sebuah doa terbesar seorang ibu untuk anaknya. Dan hingga saat itu tiba, saat di mana Dinda akan tersenyum dengan bahagia tanpa beban, aku akan terus berjuang, terus berdoa, dan terus berharap, dengan seluruh harapan yang tak pernah padam.

 

Melanjutkan Hidup dengan Ketabahan

Perjalanan menjadi orang tua tak pernah lepas dari ujian ketabahan. Setiap kali anakku, Dinda, menghadapi tantangan baru, ada luka tersendiri yang kurasakan, meski seringkali ia tak terungkap dalam kata-kata. Aku tahu bahwa hidup tak akan selalu ramah, dan aku pun tak bisa selalu melindungi Dinda dari setiap luka atau kekecewaan yang menghadangnya. Namun, sebagai ibu, aku tahu tugas terbesarku adalah mendampinginya, menjadi kekuatan di setiap langkahnya.

Suatu malam, saat kami sedang duduk berdua di ruang tamu, Dinda tampak termenung. Ia menatap ke arah jendela, melihat hujan yang turun deras. Di wajahnya, ada guratan kelelahan yang selama ini ia sembunyikan dengan baik. “Ma, kenapa ya, rasanya capek terus? Kadang aku mikir, apa aku bisa bahagia seperti orang lain?” tanyanya, suaranya kecil, nyaris tersapu suara hujan.

Pertanyaannya membuatku tersentak. Sebagai ibu, rasanya seperti ada duri yang tiba-tiba menusuk dalam. Namun, aku tahu ini adalah momen di mana aku harus lebih kuat, harus menemaninya dalam ketabahan yang tak tampak. Aku menggenggam tangannya erat, berusaha mentransfer kekuatan yang mungkin ia butuhkan. “Nak, hidup memang tidak selalu mudah. Tapi, kamu bukan orang yang sendirian dalam perjalanan ini. Selalu ada ibu di sini, menemanimu,” ujarku dengan lembut, berharap kata-kataku mampu memberikan ketenangan.

Aku tahu tak ada jaminan bahwa segalanya akan baik-baik saja. Akan ada saat di mana Dinda harus jatuh lagi, terluka lagi. Tapi saat melihat matanya yang menatapku dengan penuh harapan, aku merasa bahwa ketabahan ini—perjalanan untuk terus berdiri di sampingnya tanpa lelah—adalah doa terbesar yang bisa kuberikan.

Kadang aku memandangi Dinda yang berusaha keras menghadapi kehidupan dengan segala tantangannya. Ada rasa kagum yang tak terungkap dalam setiap langkah yang ia ambil, betapapun beratnya. Ia jatuh, tetapi selalu mencoba bangkit. Dan setiap kali itu terjadi, aku diingatkan bahwa cinta seorang ibu tak hanya hadir dalam suka. Dalam duka, justru cinta itu bertumbuh lebih kuat, menjadi kekuatan yang terus mengalir, tak pernah surut.

Suatu malam, saat Dinda tertidur di kamarnya, aku terduduk sendiri di ruang tamu, merenung. Banyak yang sudah kami lalui bersama. Banyak air mata yang tertumpah, tetapi selalu ada kehangatan yang kembali kami temukan dalam pelukan dan doa. Dalam keheningan, aku memanjatkan harapan yang selalu sama, “Tuhan, berikan anakku kekuatan, bimbing dia dalam setiap langkahnya. Jadikan dia tabah dalam menghadapi hidupnya.”

Takdir mungkin bisa membawa kami ke perjalanan yang tak terduga, tetapi aku tahu satu hal pasti—aku akan selalu ada di sini untuknya. Setiap luka dan rintangan akan kami lewati bersama. Setiap kesedihan akan kami hadapi dengan ketabahan, dan setiap harapan akan kami bangun kembali, perlahan-lahan, meski dalam keterbatasan.

Perjalanan ini tak pernah mudah, tetapi aku tahu bahwa setiap langkah yang kami ambil, betapapun beratnya, adalah bagian dari doa yang terus kulantunkan. Sakitnya Dinda mungkin menjadi ujianku, tetapi ketabahanku adalah doa terbesar yang kuberikan sebagai ibu.

 

 

Biodata:

Dra. Noer Tjahjawati, M.M, CPC, ACHC, Life dan Self-Development Coach asal Surabaya, berpengalaman 24 tahun berkarya di perusahaan multinasional dan kini berdedikasi dalam self-coaching serta pengembangan diri. 3 tahun menjadi DLB (Dosen Luar Biasa) di FEBI-UINSA Surabaya. 4 tahun sebagai pengampu modul Coaching pada Program Guru Penggerak KemendikbudRistek. Ia menulis Menyulam Rasa Syukur, Memilih Untuk Melepaskan, dan 5 Pilar Transformasi Diri untuk membantu orang mencapai potensi terbaik mereka. Kontak: [email protected]. Instagram: @cahyahijrahku ; @noercahyawati