Adikku
Oleh: Umi Farihah Arif
Aku segera berlari menghampirinya, meninggalkan aktivitas pagiku yang saat itu sedang membantu ibu di dapur. Saat aku sampai di sampingnya, dia sudah tidur meringkuk di atas kasur dengan kondisi setengah mengejang. Satu tangannya memegangi perutnya seakan melawan kesakitan. Matanya tertutup, mulutnya terderngar seperti orang mendengkur tapi dia tidak tidur.
Kutempelkan punggung tanganku di dahinya, panas. Kuraih tangannya yang menggenggam erat seperti kaku. Dingin, tangannya dingin dan berkeringat. Sedetik kemudian, orang-orang berdatangan dan turut panik.
“Katanya tadi pas bangun tidur pusing. Berjalan ke kamar mandi pun sempoyongan, dan sempat muntah,” cerita Dhe An yang saat itu di rumah.
Aku mencoba mengajaknya bicara, memanggil-manggil namanya. “Mahda… Mahda.. yang mbok rasakan apa Mah?”
Tidak ada sahutan dari dia. Entah dia masih sadar atau tidak. Di saat seseorang menyodorkan segelas air hangat, aku mencoba untuk meminumkannya pakai sendok. Tidak bisa, dia tidak bisa menelannya. Air yang kumasukkan ke dalam mulutnya keluar lagi.
Di saat itulah, aku sadar bahwa kondisi yang sedang dialami Mahda saat itu cukup serius. Aku balurkan minyak kayu putih ke tubuhnya sembari menunggu Lek Kan dan Lek Ib, bapak ibunya Mahda yang sedang berjualan di pasar pulang. Kebetulan, memang Paklik dan Bulik ini berjualan nasi di pasar dari bakda subuh. Makanya, di rumah hanya tinggal Pakdhe yang kebetulan tunanetra bersama Mahda dan kedua adiknya. Mahda punya mbak, Mila namanya. Tapi saat itu sepertinya dia pas tidak ada di rumah.
Rumah Mahda ini di samping rumah saya. Dulunya satu rumah milik simbah yang kemudian dibagi menjadi dua untuk ibu dan paklik, bapaknya Mahda.
“Allaah Allaaah Allaaaah, ” aku membisikkan di telinga Mahda karena sudah tidak tahu mau melakukan apa lagi di saat menunggu pertolongan dan menunggu kedatangan orang tuanya.
“Mah, ingat Allah ya Maah.. Sebut Allah ya Mah.. Allaaah.. Allaaaah,” dengan bergetar aku terus membisikkan nama Allah di telinganya tanpa berhenti.
Tak lama kemudian, Lek Kan dan Lek Ib datang tergopoh-gopoh. Lek Ib, sebagai ibu sudah tidak bisa membendung tangisnya. Siapapun ibu yang melihat kondisi anaknya kesakitan seperti itu pastilah menangis. Hingga akhirnya, para tetangga berkumpul dan salah seorang meminjamkan mobilnya untuk membawa Mahda ke rumah sakit.
Saat itu aku ingin ikut, namun aku dalam kondisi hamil anak pertama dan masih di masa trimester pertama. Aku pun hanya mematung mengantarkan kepergiannya hingga mobil yang dinaiki Mahda tak lagi terlihat di pelupuk Mahda.
“Dek, doakan Lek Mahda baik-baik saja,” bisikku sambil mengelus perutku yang belum terlalu buncit.
Mahda Nurul Husna, dia adik sepupuku. Dia lahir di saat usiaku 11 tahun saat itu. Sebenarnya di masa kecilnya, aku tidak banyak berinteraksi dengannya. Padahal waktu itu rumah kami masih jadi satu, belum dibagi dua seperti saat ini.
Saat Mahda berusia kurang lebih setahun, di tahun 2001, aku lulus SD dan melanjutkan ke pesantren. Jarang sekali pulang. Maka, tidak banyak kenangan bersama Mahda kecil. Hanya ada secuil ingatan tentang Mahda kecil. Setiap aku pulang dari pondok, dia bersama Mila berlari-lari menyambutku.
“Horeee.. Mbak Ayik pulang, Mbak Ayik pulang,” begitu mereka berseru. Begitu bahagia menyambutku.
Aku hidup di pondok cukup lama, dari lulus SD hingga selesai kuliah. Tahun 2011 aku menyelesaikan program sarjanaku, tapi saat itu belum ada keinginan untuk pulang kampung. Padahal sudah sepuluh tahun aku melalang buana menmpuh pendidikan dan berpindah-pindah kota. Setelah lulus kuliah ada tawaran beasiswa program magister sehingga aku memilih untuk mencoba keberuntungan. Keberuntungan berpihak, hingga kepulangan ke rumah pun tertunda hingga 2013.
2013 aku memutuskan pulang dengan alasan penelitian untuk menyelesaikan tesis. Di saat bersamaan, aku merasa luntang-lantung dan akan stress jika hanya memikirkan dan mengerjakan penelitian. Apalagi tidak ada pemasukan. Sementara, sebelumnya aku sudah kerja part time di sela-sela kuliah. Aku sudah terbiasa memegang uang tanpa meminta orang tua lagi.
Baru sebulan di rumah, aku mencoba mencari lowongan pekerjaan. Kebetulan, aku bertemu seorang teman di acara reuni pondok. Darinya, aku mendapatkan informasi lowongan pekerjaan di tempatnya bekerja sebagai reporter. Tanpa menunggu lama, aku pun mengajukan lamaran dan langsung diberikan kesempatan menjalani masa training sebagai reporter.
Di awal-awal menjadi reporter inilah aku mulai sering meilbatkan Mahda. Lama meninggalkan kota halaman tentu seperti buta, belum banyak kenalan dan relasi. Saat itu ada tugas liputan sosok yang mengangkat profil seorang perempuan dengan keunikannya. Aku pun menuliskan tentangnya ketika dia masih duduk di kelas tiga SMP. Dia yang bisa bercakap menggunakan bahasa Korea lantaran penggemar berat K-Pop. Bahkan dia bercita-cita bisa terbang ke negeri Ginseng untuk menuntut ilmu. 
Ini adalah dokumentasi ketika Mahda pertama kali masuk koran karena liputanku.
Sejak saat itu, dia sering kuajak liputan ketika sekolahnya libur atau tidak ada kegiatan. Terutama ketika aku mendapat tugas liputan kuliner. Selain bertujuan mencari teman makan, dia yang akan menjadi model di ilustrasi gambar dari makanan yang sedang aku report. Kebetulan Mahda memiliki wajah yang cukup manis dan photogenic.
Ketika aku mendapat undangan liputan khusus dari salah satu perusahaan, dia juga kerap kali kuikutsertakan. Lumayan, bisa mencicipi makanan enak gratisan karena biasanya acara dari perusahaan besar digelar di hotel dengan suguhan menu yang mewah.
Mahda sosok yang enak diajak bepergian. Anaknya tidak cerewet, tidak banyak protes, tapi tidak terlalu pendiam juga. Selain sering kuajak liputan, Mahda sering kuminta menemani belanja di supermarket yang berada di kota. Kalau dari rumah sekitar setengah jam.
Saat itu dia belum bisa mengendarai motor sendiri. Dia kuminta naik angkot menuju kantorku bekerja agar nanti bisa berangkat belanja bareng dari kantor. Belanja sendirian seperti orang hilang, sementara aku masih jomblo. Teman kantor pun pada sibuk sendiri menyelesaikan tulisannya. Pilihan terbaik untuk mengajaknya.
Sekitar setengah jam setelah kukirim pesan, dia mengabari sudah sampai di depan kantor kerjaku. Aku pun langsung menjemputnya untuk menyusulku ke ruang kerja untuk menungguku menyelesaikan pekerjaan yang hampir tuntas.
Saking seringnya kuajak ke kantor, rekan-rekan kerjaku hampir semuanya mengenal Mahda. Sebab, ruanganku tidak hanya dihuni para wartawan saja. Di dalam satu ruangan juga diisi tim editor juga tim layout.
Setahuku, setiap aku ajak keluar Mahda tidak punya alasan untuk menolak. Dia selalu mengiyakan. Mungkin, jika menurut psikolog dia tergolong orang yang memiliki karakter people plesure, sulit berkata tidak pada orang lain. Dia tipe orang yang ‘gampangan’ dimintai tolong selama dia bisa melakukannya. Tapi, inilah yang menjadikannya istimewa di mata banyak orang. Nanti akan kubuktikan bagaimana orang-orang di sekitarnya begitu menyayanginya.
Di tahun 2016, aku resign dari media tempatku bekerja. Aku mencoba menekuni usaha yang pernah kuciat-citakan dulu. Berbekal pengalaman di lapangan yang sering bertemu teman-teman pelaku usaha, aku melangkah. Aku mulai memproduksi bantal lettering, bantal yang bisa dipesan dengan tulisan dan gambar sesuai permintaan customer.
Aku memasarkannya secara online melalui media sosial. Hal yang menurutku sangat penting dalam mengenalkan produk adalah foto. Di sinilah, lagi-lagi aku meminta bantuan Mahda untuk menjadi modelku. Selain berpenampilan menarik, aku berharap dengan dia menjadi model, target pasarku bisa kena sasaran. Sebab, anak-anak muda yang kerap memberikan kado spesial untuk sahabat atau temannya yang menjadi target utama.

Ini salah satu foto ketika Mahda kujadikan model bantal lettering buatanku.
Selain kumintai tolong sebagai model, Mahda kerap kulibatka di proses produksi. Dia sering membantuku ketika pesanan sedang membludak. Dia membantu memasukkan dakron ke dalam bantal. Dia juga membantu proses packing. Dia termasuk anak yang cepat tanggan dan memiliki kreatifitas tinggi. Oleh karenanya, ketika kuajari proses packing yang mengharuskan rapi dia cepat bisa. Bahkan, dia kadang mengusulkan idenya agar penampilan bantalku lebih sempurna.

Foto ketika Mahda membantu proses packing bantal. Dia masih memakai seragam sekolah.
Selain sering membantu pekerjaanku, Mahda juga sering membantu pekerjaan ibunya. Menjadi pemilik warung makan tentu banyak pekerjaan di dapur. Setiap pulang sekolah, jika dia tidak dalam kondisi lelah yang sangat, dia pasti turut ke dapur. Dia anak yang baik dan aku tidak pernah mendengarnya mengeluh mengerjakan banyak hal.
Di dunia akademik, Mahda termasuk anak yang pintar. Dari SD hingga SMA dia bisa masuk sekolah favorit. Nilai yang didapat pun cukup memuaskan. Dia sering didapati ibunya belajar tengah malam tanpa banyak orang tahu.
Meski tidak hidup di dalam pesantren, menurutku Mahda termasuk anak yang kuat ibadahnya. Dia sering menjalankan ibadah sunah, termasuk puasa. Setiap malam jumat, dia bersamaku sering ikut pengajian ibu-ibu yang diselenggarakan di rumah pak RT. Dia tidak malu harus berkumpul dengan ibu-ibu karena niatnya memang untuk mengaji. Di sekolah, dia juga ditunjuk sebagai koordinator keagaman. Mungkin karena di mata teman-temannya, dia tergolong anak yang alim.
Di mataku, Mahda anak yang baik hatinya. Tidak pernah neko-neko dan setahuku tidak pernah marah kepada orang lain. Pernah, suatu ketika dia menyuruh adiknya untuk membelikan jajanan di warung. Ternyata tidak sesuai permintaannya. Tanpa ada protes, dia menerima jajan yang salah itu. Kalau aku, mungkin akan menerimanya tapi diawali dengan protes dulu, kok dibelikan ini sih.
Mahda memang anaknya ‘neriman’. Bahkan, ketika dibelikan barang apapun oleh orang tuanya pun dia selalu menerima dan memakainya dengan senang hati. Dia selalu bisa membuat orang disekelilingnya bahagia dengan sifat ‘neriman’ ini.
Setelah resign dari pekerjaan, aku juga sering mengajaknya makan malam bersama. Kita selalu patungan, dia yang ambil nasi dari rumahnya, aku membuatkan minumannya. Untuk lauknya, kita sama-sama membawa dari masakan ibu kami masing-masing. Selama aku makan bersaamanya, dia tidak pernah mencela makanan dengan kata ‘tidak enak’. Dia selalu memakan apa yang dihadapannya tanpa protes. Ini juga yang istimewa darinya.
Sejak duduk di bangku SMP, Mahda kerap sakit. Beberapa kali dia harus dirawat inap di puskesmas. Saat itu, aku tidak terlalu paham dengan apa yang dialami Mahda. Mungkin karena aku jarang di rumah. Ketika menjadi reporter pun aku pergi pagi pulang malam. Intensitas bertemu dengannya tidak terlalu banyak.
Begitu aku menjalankan usahaku sendiri di rumah, saat itu dia sudah duduk di bangku SMA. Aku baru tahu Mahda sering mengalami masalah dengan menstruasinya. Dia sering telat datang bulan bahkan hingga berbulan-bulan. Namun begitu menstruasi datang, dia merasakan sakit tidak terkira. Wajahnya pucat menahan rasa sakit di perutnya hingga tubuhnya pun lemas tak berdaya. Bahkan, beberapa kali dia harus rawat inap dikarenakan anemia dengan diagnosa kekurangan hemoglobin.
Menurut cerita ibunya, setiap kali haid dia akan mengeluarkan darah bergumpal-gumpal dalam jumlah yang banyak. Mungkin itu yang menyebabkannya kehilangan banyak darah hingga menderita anemia.
Akibat siklus menstruasi yang tidak normal ini, Mahda pun mendapatkan penanganan tindak lanjut untuk periksa rutin ke obgyn. Dia pun mendapatkan perawatan melalui obat yang telah diresepkan untuk menormalkan kembali siklus haid yang tidak beraturan tersebut.
Meski menjalani perawatan dan merasakan sakit yang mungkin luar biasa, Mahda tidak pernah mengeluhkan sakitnya. Padahal, pada umumnya seorang anak pasti akan mengeluhkan sakitnya meski hanya kepada orang tuanya.
Hingga malam itu, malam sebelum dia sakit bahkan dia masih terlihatr baik-baik saja. Saat aku ke rumahnya, dia pun menonton televisi seperti biasanya. Tidak ada tanda sama sekali jika dia sakit.
Setelah sampai di rumah sakit, Bulik, ibunya Mahda memberikan kawar lewat pesan. Katanya, Mahda memang tadi mengejang dan lidahnya sampai berdarah karena tergigit. Bodohnya aku yang tidak tahu bagaimana memberikan pertolongan pertama bagi orang yang mengejang.
Setelah diperiksa oleh dokter, Mahda harus segera mendapatkan penanganan operasi. Berdasarkan diagnosa dokter, ada pendarahan di otaknya. Tidak ada pilihan lain, Mahda harus digundul dan segera dioperasi.
Mendengar kabar itu aku lemas. Pendarahan di otak bukanlan masalah sepele. Semoga Mahda bisa melaluinya dengan baik. Semoga Mahda lekas pulih dan bisa kembali ke rumah dengan sehat.
Setelah dilakukan operasi, Mahda tak juga sadarkan diri. Dia harus dirawat di ruang ICU. Saat aku menjenguknya, dia belum juga siuman. Badannya dingin. Wajahnya tampak ayu meski pucat.
“Mah kuat ya Mah. Ayo sehat, ayo pulang,” aku berharap dia mendengar dan bersemangat melawat sakitnya.
Hingga tiga hari di ICU, tidak ada perkembangan yang berarti dari kondisi Mahda. Pada hari Minggu, salah satu dokter yang menangani Mahda memberikan informasi bahwa kondisi Mahda kritis dan kemungkinan sembuh sangat sulit. Dokter mengatakan, batang otak Mahda sudah mati. Sehingga para dokter sudah angkat tangan tidak bisa membantu lebih banyak.
Mendengar ini, Bulik dan Paklik masih berharap dokter yang lain mengatakan hal yang lebih baik. Namun saat itu hari Minggu para dokter tidak aktif di rumah sakit. Harus menunggu esok hari.
Hari Senin, dokter lain yang juga menangani pengobatan Mahda mengemukakan hal yang sama dengan dokter sebelumnya. Mahda dinyatakan mati batang otaknya. Dokter pun menyarankan untuk dibawa pulang saja.
Pihak Paklik, Bulik dan keluarga tentu sedih mendengarnya. Kami merasa bingung bagaimana merawat Mahda di rumah dalam kondisi seperti itu. Jika di rumah sakit tentu dibantu dengan alat-alat medis. Sementara di rumah tentu tidak ada fasilitas memadai. Pihak keluarga pun mengulur waktu, minta perpanjangan hingga esok hari.
Senin sore, kami yang dirumah dimintai tolong Paklik dan Bulik untuk membersihkan rumahnya. Sebab, besok Mahda akan dibawa pulang. Setidaknya, kamar Mahda disiapkan untuk perawatan di rumah nanti.
Budhe Mun dan Budhe Tun yang rumahnya tidak jauh dari rumah pun berdatangan membantu sebab di rumah Mahda hanya tinggal dua adik Mahda yang masih kecil, mbah kakung yang sudah sakit menahun dan hanya bisa di atas kasur serta Dhe An yang tunanetra.
Atas kuasa Allah, senin sore itu hujan lebat. Bahkan, sungai samping rumah yang sudah lama tidak meluap, sore itu airnya sampai ke rumah-rumah warga. Rumah paklik yang memang paling dekat dari sungai sudah kemasukan air banjir dari arah kamar mandi. Kami pun beramai-ramai membersihkannya. Tapi saat itu aku dalam kondisi hamil sehingga tidak banyak membantu, khawatir jika aku kepleset.
Senin malam, dalam kondisi masih hujan teman-teman sekolah Mahda datang menjenguk ke rumah sakit. Tidak hanya teman perempuan, beberapa ada teman laki-laki. Mereka bahkan mambacakan surat yasin di dekat pembaringan Mahda, berharap Mahda segera mendapat keajaiban dari Allah untuk sembuh. Menurut cerita dari temannya, di sekolah pun sempat guru-guru dan semua siswa dikumpulkan melakukan doa bersama khusus untuk Mahda. Begitu sayangnya teman-teman Mahda kepadanya. Aku yakin, ini karena kebaikan yang telah ditanam olehnya.
Selasa pagi, rumah Mahda sudah ramai sanak saudara berkumpul menunggu kedatangan Mahda. Setidaknya, kami bersiap untuk membantu jika ada hal yang dibutuhkan nanti.
Sakitar pukul tujuh pagi, langit tampak mendung. Gerimis turun perlahan membuat suasana hening. Ketika ambulance yang mengantarkan Mahda sampai di halaman, orang-orang dengan sigap membentangkan kain untuk menghalangi air hujan. Agar Mahda tidak kehujanan menuju rumah.
Sesaat setelah Mahda dimasukkan rumah dan dibaringkan di atas dipan yang telah disiapkan di ruang tengah, Bulik pun masuk dan duduk di salah satu kursi dengan lemas. Paklik pun mendatanginya, mengatakan kalau Mahda telah tiada. Katanya, hembusan nafas terakhir Mahda dirasakan paklik ketika sampai di jembatan sebelum masuk gang rumah. Paklik sengaja menyembunyikannya dulu karena khawatir istrinya belum kuat mendengarnya.
“Inna lillahi wa inna ilaihi rojiun,” aku berkata lirih. Air mataku mengalir, mengingat kebaikan-kebaikan Mahda. Bahkan ketika aku menulis ini, kembali air mataku menganak sungai.
Setelah menghibur Bulik, aku pun mengambil wudhu dan membacakan surat yasin untuk adikku. Usai menyelesaikan bacaan, aku menatapnya sayu. Aku pun mencium pipinya yang sudah dingin, untuk terakhir kali.
“Mah, kamu orang baik dan ini takdir terbaik untukmu. Ikhlas ya Mah,” bisikku setelah menciumnya.
Dia masih berusia 18 tahun saat itu. Begitu kabar kepergiannya disiarkan, orang-orang bertangan hingga rumah penuh pelayat. Teman-teman dan guru-gurunya pun turut hadir untuk mengantarkan kepergian Mahda. Ketika aku melihat banyaknya pelayat yang datang, aku merasaka keistimewaannya. Dia bukan siapa-siapa tapi dia begitu banyak berarti bagi banyak orang hingga orang yang menghadiri pemakamannya seperti orang terkenal, banyak sekali.
Istimewanya lagi, para teman laki-laki Mahda bahkan sampai rela mencopot sepatu berbece-becek untuk ikut serta ke pemakaman. Bahkan, mereka secara brgantiann ikut membopong keranda hingga jenazah Mahda diturunkan ke liang lahat.
Coretan buatmu, nduk ayu…
Bunga cantik, lebih dulu dipetik
Di saat sedang mekar-mekarnya,
kau yang lebih dilirik, dipetik
sementara masih banyak bunga-bunga di antaramu..
tetap saja,
bunga cantik yang lebih dulu dipetik
mungkin harummu, kalahkan harum bunga di sekitarmu
harummu lebih membuatNya tertarik, dipetik
mungkin kembangmu, warnamu, lebih merekah indah
hingga sang Pemilik ingin segera membawamu pulang ke pangkuan
dan seperti membuat yang lain iri
kau dipilih untuk diistimewakan..
ah,
kau memang bunga cantik yang layak lebih dulu dipetik
selamat jalan nduk ayuku
selamat menghadap Kekasih
aku mengakui, kamu tak hanya cantik rupa tapi kau cantik segala. tutur kata, sikap, senyum, semuanya indah di mataku.
tak pernah kamu membuat ‘gelone ati’ orang lain. tak pernah kamu mengatakan ‘tidak’ ketika dimintai tolong.
nduk ayuku, aku sayang kamu. tapi Gusti Allah luwih sayang kamu.. insyaallah husnul khotimah, nduk ayu
Kudus, 7 Februari 2018, sehari setelah kepergianmu
***
PROFIL PENULIS:
Umi Farihah Arif, lahir di Kudus dan sekarang tinggal di Klaten. Saat ini menjadi ibu dari dua anak laki-laki dan menekuni usaha rumahan sebagai produ
sen souvenir. Menyukai dunia menulis sejak SD, pernah menulis cerita fabel yang hanya dinikmati teman sekelas karena tidak ada yang mengarahkan untuk mengirimkan karya. Pernah aktif di FLP ketika sekolah di MAKN Surakarta. Aktif di LPM IDEA ketika menjadi mahasiswa di IAIN Walisongo Semarang. Pernah menjadi wartawan sembari menyelesaikan tesis ketika kuliah magister di UNDIP Semarang. Meski menekuni dunia usaha, hobi menulis masih disalurkan melalui catatan pribadi yang belum banyak dipublikasikan.