Cerpen

Ketika Lonceng Berbunyi

Cerpen oleh Dani Hadi Irfan

 

Bel berbunyi

Joni membuka mata. Terdengar kicau burung kutilang. Minggu pagi yang ceria, setelah malam minggu kelabu yang untuk sekian kalinya dijalaninya. Rasa kantuk membuat Joni kembali memejamkan matanya.

Sekali lagi bel berbunyi.

Joni kaget dan buru – buru bangkit dari tempat tidurnya. Dengan berlari kecil Joni menuju pintu dan membukanya. Matanya membelalak. Tak percaya pada apa yang terlihat di depannya, ia ternganga. Seorang cewek berdiri di depannya dengan senyuk di kulum. Senyum dan wajah cewek itu seperti Maharani, mantan pacarnya. “Tapi, ah, bukan. Ia bukan Maharani. Astagfirullah!”desahnya.

Suara burung kutilang membuai suasana pagi ini jadi semakin ceria di lereng bukit gombel yang indah. Joni berputar untuk mengingat – ingat siapa cewek cantik yang berdiri di depannya. Tiba – tiba ia tersenyum. Karena telah menemukan rekaman dalam ingatan batinnya. Sebuah peristiwa yang tak pernah dilupakannya, ketika tiga tahun yang menjadi pembicara dalam sebuah workshop teater di kota tetangganya.

“Kamu cewek pertama yang bertanya, berapa anak saya.” Tebak Joni.” Jadi masih ingat padaku, mas?” tanya si cewek.

“Aku ingat kamu. Tapi maaf, aku lupa namamu. Sudah lama sih.

“Nggak apa – apa. Betul masih belum ingat namaku?”

“Terus terang saja, iya siapa namamu, dik?”

“Namaku, panggil saja Ratna. Lengkapnya Ratna Maharani. Masih ingat terus pertanyaanku itu, ya?”

Joni tersenyum. Dipandangnya Ratna dan dia tersenyum juga. Lebih cantik ketimbang dulu semasa duduk di SMA.

Mereka saling memandang beberapa saat. Kicau burung kutilang itu seperti mengusir tatapan Joni dan Ratna Maharani.

“Silahkan duduk.”

“Terima kasih.”

“Ooo apa kabar?”

“Joni, yah kabar baik.”

“Kok pakai yah? Apa itu bukan basa – basi?”

“Terus terang, iya. Aku tak bisa menipu diriku sendiri atau basa – basi.”

“Terus terang juga, kabarku seperti kabarmu, juga tidak baik. Tapi untuk menyenangkanmu, maka kukatakan kabarku baik.”

“Ooooo……….”

Joni memandang gadis berambut ikal itu. Rambut kepala berwarna hitam yang panjang tergerai di punggungnya.

Rambut yang tumbuh di dahinya, secara alamiah tertata sangat rapi. Sementara bulu mata yang lentik, menambah daya pesonanya. Cowok manapn tentu akan terpikat melihat wajah yang sangat menarik itu. Apalagi wanita yang duduk di depannya berkulit kuning keputihan.

Ahhh……….

Ratna membalas memandang Joni yang tampak berwajah lembut tapi berbadan kekar. Seperti gadis manapun, ia merasa daya tarik yang terpancar kuat dari cowok yang duduk di depannya.

“Siapa yang memberitahumu di mana rumahku?” tanya joni membuka suara. Kamu pasti tahu siapa orangnya.” Ratna berteka – teki.

“Siapa ya? Oh, si Hasyim?”

“Benar. Mas Hasyim sahabat kita berdua.”

“Hmmm, kamu tambah cantik.”

“Terima kasih. Emmmmm. Kamu juga tambah keren.”

“Terima kasih.”

Itulah awal pertemuan kembali mereka, setelah tiga tahun tak bersua. Agaknya masing – masing pernah mempunyai kesan yang istimewa. Walaupun sudah terpendam selama tiga tahun, masih bisa saling mengingat kembali.

“Kalau boleh tahu apa kabar burukmu itu?” tanya Joni.

“Ratna menghela nafas panjang.

“kalau menyakitkan hatimu, tak usahlah,……”pinta Joni.

“Nggak apa – apa. Sudah setahun ini kejadiannya kok, tutur Ratna.

“Sudah setahun ini kamu pacaran?”

“Nggak. Sudah setahun ini pacarku meninggal.”

“Ooooo, maaf……….”

“Nggak apa – apa.”

“Ia meninggal karena kecelakaan. Sepeda motornya tertabrak bus umum.”

“Lhoh. Ceritamu kok sama dengan nasibku. Kamu ngarang ya?”

“Enggak. Sumpah ini betul – betul terjadi.”

“Ketika itu, aku berhasil meraih tropi pemain putri terbaik dalam parade teater di kotaku, aku menjadi sang primadona malam itu. Ia sangat bangga padaku. Maka diajaklah berputar – putar kota dengan sepeda motornya. Karena kurang waspada sebuah bus antar kota menyerempet kami…….”

Joni tak lagi mendengarkan lagi kelanjutannya. Joni sudah tahu bagaimana kelanjutannya. Ia sangat tahu penderitaannya, karena pernah merasakan kehilangan pacar seperti yang dialaminya. Ternyata nasib mereka sama.

“ Ah, Tuhan telah mempertemukan kami dalam keadaan yang sama. Dapatkah kami berbagi rasa, membandingkan persamaan nasib kami?” desah Joni.

Ratna menghela nafas panjang, sebelum akhirnya membuka isi hatnya.

“Aku memang merasakan hal yang sama denganmu?”

“Betul begitu?”

“Iya.”

“Ganti joni yang menghela nafasnya.

“Mungkin ini sudah takdir yang harus kita alami, sebelum kita dipertemukan kembali hari ini…. kita berbagi rasa karena punya pengalaman yang sama.”

Lamunan Joni dibayarkan oleh kicau burung kutilang, suaranya merdu beberapa saat itu. Ia memandang langit jingga dari pintu jendela.

“Hari ini adalah hari ulang tahun pertama kematian Ratna Maharani. Oh, Ratna. Ratna, sebutnya lirih pada diri sendiri.

Udara terasa menyesakkan baginya. Ratna Maharani, seorang teman bermain teater yang sangat hebat dikampungnya, lawan bermain yang sangat kompak dipanggung, dan pacar yang ideal yang pernah ditemui dalam hidupnya. Ia betul – betul seorang primadona bagi dirinya.

Joni selalu berkata bahwa tidak gampang mencari pacar yang sangat ideal seperti Ratna Maharani. Bagi Joni mau ganti pacar sehari tiga kali untung iseng – iseng sih mudah sekali. Dengan modal tampangnya, kalau mau Joni bisa membuat belasan cewek jadi pacarnya.

Yang terjadi, kini Joni di landa patah hati. Bukan karena pacarnya memutuskan hubungan dengannya lantaran pengaruh cewek lain, atau di tolak pacar mentah – mentah oleh keputusan orang tuanya. Tapi karena kematian Ratna yang tidak wajar. Sudah setahun lalu kejadiannya. Ketika sedang buru – buru berangkat dari rumah ke tempat pementasan. Ratna rupanya kurang waspada mengendarai Astrea Grandnya. Ia disodok mobil hingga terpental menabrak pohon. Ia tewas dengan cara mengenaskan.

“Yah manusia memang harus berusaha, termasuk mencari pacar yang baik dan siap untuk di ajak memasuki mahligai pernikahan. Tetapi nasib manusia memang sudah tersurat.” Katanya pada diri sendiri. Seperti nasibku itu. Pacar mati. Harus mengalami rasanya patah hati. Tapi apakah tidak akan mencari pengganti?”

Tiba – tiba bel berbunyi. Joni melangkah dengan enggan ke pintu rumah. Ketika pintu terbuka. Ia terpana, seorang gadis cantik berdiri tegak dan tersenyum kepadanya.

 

***

Dani Hadi Irfan, menulis bukan hobby tetapi tuntuan cuan ketika era 2000 sampai 2009. Mulai menulis lagi tahun 2019, vacum 10 tahun karena kesibukan dinasnya.

Bergabung di Diomedia. Menulis memoar-memoar dan berharap jadi amal jariyah aja. Sebagai pengisi selingan waktu purna tugas.