Alimatul Qibtiyah
Menikah adalah perjanjian yang sakral yang bertujuan untuk Bahagia Bersama. Bahagia Bersama dapat diwujudkan dengan adanya komitmen yang kuat, tidak ada dusta dan perselingkuhan, ikatan emosi yang kuat, dan juga gairah seksual yang senantiasa terjaga. Selain itu, kunci untuk mewujudkan dan menjaga keluarga yang bahagia sebenar-benarnya adalah adanya keseimbangan, keadilan dan juga kesalingan dalam pikiran, rasa, laku dan juga cita-cita. Tujuan pernikahan bukan hanya ingin membahagiakan pasangan atau anggota keluarga lain, tetapi juga kebahagiaan untuk dirisendiri. Kebahagiaan Bersama sangat penting. Bahagia dalam keluarga bukan ibarat lilin yang merelakan diri sendiri hancur untuk menerangi orang lain. Sebuah hubungan yang diharapkan lama dan seumur hidup, tidak dapat dipenuhi dengan kepura-puraan, pura-pura bahagia, pura-pura baik-baik saja, dan kepura-puraan lainnya. Filosofi lilin, mungkin hanya dapat diterapkan pada penghormatan tamu, yang mana tuan rumah punya kewajiban untuk menjamunya paling lama tiga hari.
Untuk mendapatkan kebahagiaan itu, anggota keluarga tidak boleh ada yang direndahkan, diunggulkan, dikasih beban berlebih yang menyebabkan kerentanan. Kosep egaliter dalam keluarga Sakinah itu dipenuhi dengan nilai kesalingan, yang mana saling cinta, saling setia, saling memberikan kebaikan, saling menghormati, saling memberikan keridhoan, saling mentaati dan saling membantu. Penelitian membuktikan bahwa fleksibilitas peran laki-laki dan perempuan dalam sebuah keluarga sangat berkontribusi pada keharmonisan sebuah keluarga, semakin tidak kaku peran anggota keluarga semakin bahagia keluarga itu. Demikian sebaliknya, jika ada keluarga yang menggunakan prinsip ‘pokoknya’ misalnya pokoknya yang mencuci piring perempuan, yang mencuci motor laki-laki, pokoknya perempuan harus di rumah dll, maka hal-hal itu akan menjadikan keluarga kurang Bahagia.
Kita semua setuju bahwa keluarga adalah harta yang sangat berharga dan sangat berharap di keluargalah tempat kita kembali, tempat yang dirindukan dan tempat tumbuh dan berproses bersama dalam kebaikan. Slogan baiti jannati, rumahku adalah surgaku menjadi impian setiap orang. Namun demikian, impian itu tidak sepenuhnya dapat terwujud oleh sebagian orang. Banyak keluarga kontemporer yang mengalami banyak persoalan yang sebagian dari mereka menyelesaikannya dengan keputusan Pengadilan Agama (PA). Penyelesaian di PA tidak selalu pilihan yang salah, pada kasus tertentu itu pilihan yang terbaik daripada mempunyai relasi yang tidak sehat dan hidup penuh dengan penderitaan.
Nah guna mewujudkan keluarga yang sakinah, mawadah dan warohmah sesuai dengan prinsip kesalingan dan fleksibilitas peran tersebut, kami keluarga yang sudah berusia lebih dari 25 tahun ini menyebutnya sebagai ‘Keluarga Musawa’. Musawa artinya kesalingan dan keadilan. Homestay yang terletak di depan rumah kami juga kami sebut sebagai Homestay Musawa, sekalian iklan nih he..he… Guna mewujudkan keluarga Musawa tidak semudah membalik telapak tangan apalagi jika berangkat dari cara berfikir dan juga wujud laku yang meyakini bahwa pekerjaan itu berjenis kelamin. Kami sendiri membutuhkan waktu 16 tahun untuk mewujudkan pemahaman atau chemistry yang sama dalam memahami dan mengimplementasikan bahwa persoalan pekerjaan rumah tangga, pengasuhan, mencari nafkah dan juga peran-peran publik adalah tanggungjawab Bersama. Implementasi prinsip tersebut jelas harus mempertimbangkan tugas-tugas reproduski yang melelahkan dan sakit, seperti menstruasi, hamil, melahirkan, menyusui dan nifas yang tidak dapat digantikan oleh laki-laki. Strategi mengubah cara berfikir bahwa suami melakukan pekerjaan rumah tangga dan pengasuhan BUKAN dalam rangka MEMBANTU pekerjaan istri, tetapi itu juga TANGGUNGJAWAB Bersama, dalam pengalaman kami ada tiga tahapan atau tiga pelatihan; pertama pelatihan Bersama teman-teman KKN di Magelang, kedua Diskusi Mendalam di Yogyakarta, dan ketiga di tengah-tengah ibadah haji di tanah suci.
***
Tahun 1999, aku diundang mahasiswa/i KKN (Kuliah Kerja Nyata) bimbinganku untuk menjadi narasumber di Magelang. Mas Santo, suamiku, mengantarku sampai ke tempat dengan selamat meski bermodal motor butut. Motor satu-satunya yang kami punya. Aku mengisi seminar dengan tema kesetaraan dan keadilan gender. Di sanalah rasanya aku telah menyampaikan sesuatu pada suamiku. Beliau ikut mendengarkan, tapi rasanya aku juga sedang berbicara padanya ketika mulutku berbicara; “Bahwa anak adalah tanggung jawab bersama.” Dalam acara bertema gender tersebut.
Sejak saat itu, suamiku mau membantu peran-peran pengasuhan di rumah. Ah, sebenarnya suamiku selalu membantuku dalam segala hal. Meski kadang aku suka kesal saat mengingat beliau tak mau menyuapi anaknya sendiri, pada awal pernikahan kami, karena menganggap bahwa itu pekerjaan perempuan/Ibu. Sejak hadir di KKN itu beliau juga rela saat harus datang ke kampus demi memberikan anak kami ASI eksklusif. Saat jam-jam menyusui tiba, beliau harus segera membawa anak kami ke kampus. Dan inilah cinta, kalau cinta telah berbicara maka ia mampu mengalahkan paham-paham yang bahkan anakku sendiri tak akan mengerti akan hal itu, anakku hanya ingin perhatian Bapak dan Ibunya, itu saja.
Beliau bahkan mau menemaniku ke Amerika meski sebelumnya ia berkata, “Wong lanang kok melu wong wedok”—laki-laki kok ikut perempuan. Tapi ia melawan egonya sendiri, begitulah kenyataannya sampai beliau mau datang ke Amerika dan meninggalkan pekerjaan di dunia minya sementara. Beliau memang insinyur perminyakan, jadi wajar kalau kerja schlumberger rekanan pertamina. Dan di Amerika kami berjuang bersama.
Sekali lagi, inilah cinta. Sekarang aku tahu mengapa orang di luar sana menggebu-gebu untuk menikahi orang yang mereka cintai. Laki-laki di luar sana pasti Mas Santo dalam versi lain, karena cinta dan kerendahan hati akan melahirkan Bapak yang lembut sepertinya. Ia mau serta mampu berubah, sama sepertiku yang juga masih banyak belajar untuk berubah menjadi yang lebih baik.
Saya belajar kesetaraan laki-laki dan perempuan sejak awal 90an tidak lama setelah saya ‘hijrah’. Namun sepertinya belahan jiwa saya tidak pernah mendiskusikan kesetaraan gender sebelum bertemu denganku. Karena itu tidak mengherankan jika baginya pekerjaan itu berjenis kelamin. Pada awal-awal pernikahan saya lumayan dibuat agak shock dengan pemahaman bahwa baginya melahirkan anak sampai mengurus keluarga adalah pekerjaan perempuan. Lelaki sebagai pemimpin dan pencari nafkah harus dilayani. Bagiku tak mudah melalui ini karena bagaimanapun pemikiranku telah banyak berubah. Lagipula saat itu aku telah diterima sebagai dosen di IAIN. Sementara suamiku masih mencari pekerjaan yang dekat dengan urusan ‘ukhrowi’.
Aku merasa saat itu seperti mempraktekan apa yang kupercayai saat aku masih aktif di kegiatan dalam lingkaran ‘hijrah’. Perempuan bekerja untuk urusan domestik. Perempuan harus menuruti apa yang menjadi keputusan suami, karena mereka adalah pemimpin.
Pernah suatu waktu, saat aku harus mengajar dan meninggalkan anak kami di rumah bersama bapaknya, aku menemukan anak kami kelaparan karena suamiku saat itu masih memiliki faham yang cukup kuat bahwa anak adalah urusanku sebagai perempuan. Pengaruh kelompok tekstualis pada isu kesalingan laki-laki perempuan cukup kuat mempengaruhi pikiran dan laku suamiku saat itu. Atau mungkin juga karena sebagai laki-laki tidak cukup dibekali dengan soft skill pengasuhan oleh keluarga.
“Jenengan kok nggak ngasih makan? Anak nggak disuapin, kalau sakit gimana kalau jenengan nggak mau nyuapin? Ini anak kita lho,” kataku padanya saat aku melihat ia masih belum mau menyuapi anak kami.
Aku pikir otakku sedang sangat panas saat itu. Pemahaman agama dan budaya mengalahkan kasih sayang? Mengalahkan kerendahan hati? Tak bisakah hanya dengan alasan cinta ia mau menyuapi anak kami?
***
Suamiku anak pertama dari empat bersaudara. Lahir di antara keluarga yang cukup berada, beliau tumbuh dalam keluarga yang meyakini bahwa pekerjaan itu berjenis kelamin. Kami memang telah menikah sejak tahun 1997, tapi bukan hal mudah untuk saling menerima pemikiran satu sama lain. Pernah dengar suami-istri ribut di pengadilan, lalu setelah mereka keluar dari sana mereka mengungkapkan; kami bercerai karena kami beda pendapat, kami beda pemikiran, kami tak sejalan lagi. Jadi kukira menyatukan pendapat dua orang di bawah satu atap memang bukan hal mudah.
Dan yang paling kuingat setelah hari itu adalah hari di mana aku tertidur di depan televisi sambil memeluk anak keduaku. Tepatnya tahun 2007 setelah kami kembali ke Indonesia dari Amerika, saat bulan Ramadhan, aku terlelap sejak sore hari hingga tiba waktu sahur. Aku setengah terkejut saat mataku terjaga karena lampu yang mendadak menyala semua. Aku bangun dan lebih terkejut lagi saat melihat kompor masih belum dinyalakan.
“Lampu nyala tapi kompor mati?” kataku. Apa salahnya kalau seorang laki-laki harus menghangatkan makanan? Haramkah? Apa itu akan membuat istri dikutuk oleh para malaikat? Beliau mampu melipat sarungnya di perut dan memakai baju kokonya, tapi tidak dengan menyalakan kompor?
“Honey, we need to talk.” Aku mengiriminya sebuah pesan singkat dan setelah subuh kami bertemu di balkon, lantai dua. Aku menunggunya setelah sebelumnya aku memperingatkan pada anak pertamaku; bahwa bisa saja nanti Bapak dan Ibu akan meninggikan suara, tapi sebenarnya tidak ada apa-apa dan tidak akan terjadi apa-apa.
Kami bertemu dan dari hati ke hati kami mulai berbicara tentang isu “Gerakan perempuan terlibat di dunia publik dan produksi tidak diikuti dengan gerakan laki-laki ke dunia domestik dan reproduksi, yang kemudian berdampak beban berlebih bagi perempuan.”
Beliau pasti mengerti maksudku. Aku ingin beliau dapat melakukan apa yang biasa kukerjakan di rumah, begitupun aku yang juga bisa mencari nafkah seperti yang beliau lakukan di luar rumah.
Kalau setuju bahwa perempuan boleh bekerja di luar rumah, maka laki-laki juga harus sepakat bahwa laki-laki harus juga bertanggungjawab pekerjaan rumah termasuk mengurus anak. Setelah lama kami berdiskusi, akhirnya beliau mengerti. Ya, secara individu pasti aku sangat keberatan jika beliau tidak melakukan apa yang kupercayai; bahwa konsep kesetaraan dan keadilan gender dalam keluarga harus diterapkan. Kalau berkaca pada Nabi Muhammad, aku yakin beliau juga melakukan pekerjaan rumah.
***
Beberapa tahun kemudian, kami berkesempatan untuk menginjak tanah suci. Tahun 2014 tepatnya, kami sudah kembali dari Australia setelah kuliahku selesai. Dengan uang hasil kerja suamiku, aku menyelesaikan kuliahku, sementara uang hasil beasiswa dapat kami sisihkan sampai akhirnya kami bisa membangun toko besi dari beasiswa di Australia dan juga merintis membuat homestay Musawa, serta memiliki rumah dan mobil dari beasiswa sewaktu di Amerika. Ah, aku juga melahirkan anak lagi, jadi terhitung tiga anak. Sama artinya tiga ijazah kuliah, kami juga mendapatkan tiga anak.
Beliau sempat kembali ke dunia minyak sesaat setelah kami kembali dari Amerika dulu, beliau bahkan berkeinginan mendirikan perusahaan minyak bersama teman-temannya. Tapi ternyata sulit untuk mewujudkan keinginan itu, hingga akhirnya beliau menyusulku ke Australia setelah aku tinggal di sana beberapa bulan. Beliau kembali bekerja keras di sana. Dan dari kerja kerasnya itulah kami merasa tercukupi.
Di Tanah Suci, tepatnya setelah jam 12 siang di Arofah, waktu dan tempat yang diyakini mustajab untuk berdoa, kami berdua dengan suamiku membawa tikar dan mencari tempat. Lalu setelah kami mendapatkannya, kami saling duduk berhadapan. Saya mulai berdiskusi dan penasaran dengan do’a-do’a yang dipanjatkan untuk saya.
“Mas, jenengan kalau berdo’a untuku di tempat-tempat mustajab, do’anya seperti apa?” Beliau tidak menjawab, hanya menantapku dengan seolah saya sudah tahu kata-kata doanya.
“Pengen tahu tidak do’aku untuk jenengan selama melaksanakan ibadah haji di sini?” tanyaku. “ iya apa,” beliau dengan cepat merespon penuh dengan tanda tanya.
“Aku selalu berdo’a begini mas, Ya Allah jadikanlah suamiku laki-laki baru!,” jawabku. “Apa itu laki-laki baru?” tanyanya.
“ya, laki-laki yang mempunyai kesadaran untuk melakukan pekerjaan rumah tangga dan pengasuhan (Bapak Rumah Tangga) bersama anggota keluarga lainnya, karena pada pada dasarnya menyapu dan nyuapin anak itu tidak dengan alat reproduksi tetapi dengan tangan atau alat lain dan juga kemauan,” jawabku.
Tapi tak beberapa lama, beliau menangis di hadapanku. Aku merasa kebingungan sendiri menatap suamiku yang mendadak menumpahkan air matanya. Beliau meminta maaf, berterima kasih, dan kalimat-kalimat semacam itu mulai keluar di antara tangisannya. Aku menjawab dengan apa yang bisa kujawab. Sampai akhirnya kami berada pada puncak pembicaraan,
“Jadi apa yang akan Mas lakukan setelah ini? Kondisi kita begini, kita punya anak, apa Mas mau kembali ke dunia minyak?” tanyaku. “Monggo silahkan lho, aku tidak ingin dikatakan istri menghambat karir suami,” aku menjelaskan pikiranku.
Ia menatapku ragu.
“Aku bingung, kadang ustaz ini bilang keluarga sakinah itu begini, kadang ustaz itu bilang begitu, kamu sendiri punya pendapat yang lain.”
Apa yang kusukai darinya, salah satunya adalah bagaimana ia sangat berhati-hati dengan pemikiran agama. Kurasa dirinyalah salah satu contributor yang membuatku menjadi istri solihah, atau mungkin setidaknya membuatku berjuang untuk menjadi istri solihah yang punya perspektif pemihakan pada hak-hak perempuan.
Aku mengangguk pelan.
“Kalau aku, aku sendiri sudah menyadari kalau pikiranku itu di luar mainstream, out of the box, tapi aku yakin suatu saat pikiranku dapat diterima banyak orang dan apa yang kita lakukan tidak melanggar ajaran agama. Persoalan keluarga yang aku pahami, suami mengemban cari nafkah saat istri sedang dalam masa reproduksi. Kalau sekarang, kita sudah ada anak tiga, dan saya tugas reproduksinya tidak seberat sebelumnya, maka seandainya kita dapat saling membantu dan jenengan memilih banyak bersama anak-nak demi Allah saya rela atau ridhlo, sekali lagi kalau jenenengan lebih memilih bersama anak-anak, aku ridho, aku tidak menuntut, itu pendapatku.”
“Iya aku tahu kamu, tapi gimana pandangan masyarakat? Keluarga besar kita juga. Itu yang berat,” timpalnya.
“Ya memang berat, tapi mereka cuma melihat aja, kita yang jalani. Tapi kalau mau kerja apa aja nggak masalah, nah kalau aku sendiri sih salah satu di antara kita harus ada yang bersama anak-anak di Jogja.”
Ia tampak berpikir. Memang sulit memutuskan hal-hal seperti ini, tapi ini untuk kebaikan bersama. Kami sudah merasa cukup, bukankah yang kami inginkan hanyalah duduk tenang? Membantu anak-anak untuk tumbuh dengan baik. Lagipula masih ada PRT di rumah yang mengurusi pakaian, kebersihan rumah, dan makanan. Ia hanya perlu bersama anak-anak sambil menjalankan bisnis-bisnis kami.
“Ya sudah, aku sama anak-anak aja, kamu punya potensi untuk berkiprah dan banyak mendatangkan manfaat untuk ummat, kamu kan kalau bicara dapat menghipnotis audien” katanya kemudian sambil meyakinkan aku. Pasti ini keputusan yang sulit, tapi beliau selalu mampu melawan egonya sendiri. Sama saat beliau harus ikut ke Amerika, beliau juga telah berhasil mengalahkan egonya, yang kemudian tanpa kami sadari keputusannya itu telah mengubah hidup kami. Beliau seorang pekerja keras, seperti yang kutahu, dan sudah saatnya aku memanjakan dirinya. Ya, merelakan dirinya punya banyak waktu bersama anak-anak misalnya.
Alhamdulillah do’a-do’a di tempat mustajab di tanah suci dilanjutkan dengan diskusi di Arofah, agar Tuhan mau menjadikan dirinya sebagai ‘laki-laki baru’ yaitu suami yang mempunyai mental model bahwa pekerjaan domestik dan pengasuhan adalah tanggung jawab bersama, menurutku terkabul. Sejak saat itu beliau ridlo menjadi Bapak Rumah Tangga, dan sayapun juga Ridlo menjadi penafkah utama dalam keluarga.
Tugas reproduksi perempuan (menstruasi, hamil, melahirkan, nifas, menysui) itu berat karena itu harus dibantu diringankan, apalagi jika si perempuan juga ikut berkontribusi pada nafkah keluarga. Asal menjadi kesepakatan dan untuk kepentingan keluarga tidak ada masalah perempuan ikut berkontribusi pada nafkah keluarga. Apalagi saat ini banyak kesempatan perempuan untuk ikut berkontrbusi pada nafkah keluarga.
***
Kami seperti beralih peran atau mungkin begitulah yang terlihat saat ini. Kami sama-sama menikmatinya, meski sesekali aku merasa penasaran dengan apa yang mungkin ia rasakan. Hanya saja beliau selalu bertingkah seperti biasanya, tak banyak bicara dan memprotes ini itu sepertiku.
Beliau punya banyak waktu bersama anak-anak, termasuk wali murid yang tergabung dengan berbagai grup Whatsapp sekolah. Bagiku keputusan untuk menjadi bapak rumah tangga adalah keputusan yang keren yang membuat Bahagia semua anggota keluarga.
Ada beberapa hal yang sangat penting untuk diperhatikan guna tetap menjadikan keluarga adalah tempat Kembali dan tempat mendapatkan kebahagiaan di tengah-tengah perubahan sosial yang ada yaitu:
- Mengingat kembali bahwa pernikahan adalah perjanjian yang kokoh, berpasangan, saling memberikan kebaikan, musyawarah dan saling meridhoi (antaradhin)
- Mengukur peran dan nilai penghargaan pada anggota keluarga tidak berbasis kapitalis yang cenderung mengukur peran dari modal/uang yang dihasilkan yang dalam banyak kasus berdampak pada siapa yang mempunyai penghasilan yang banyak dialah yang lebih powerful/lebih punya wewenang. Menilai peran sesorang dalam keluarga didasarkan pada peran reproduksi dan bagaimana meringankan tugas reproduksi yang berat dan melelahkan.
- Peran-peran produksi, reproduksi, publik dan domestik adalah menjadi tanggung jawab bersama dan bersifat fleksibel sesuai dengan kondisi keluarga masing-masing.
- Keterlibatan suami dalam dalam tugas pengasuhan dan domestik bukan dalam rangka membantu tugas istri, tetapi itu juga merupakan tanggungjawab bersama.
- Tidak ada persoalan suami mempunyai penghasilan lebih rendah daripada istri, tidak ada larangan istri punya penghasilan lebih tinggi daripada suami demikian juga sebaliknya. Yang dilarang adalah mendominasi, merendahkan salah satu anggota keluarga yang menjadikan tidak nyaman dan tidak mempunyai kesakinahan dalam hatinya. Sayyidana Khodijah juga mempunyai penghasilan yang lebih tinggi daripada Rasulullah, dan mereka hidup Bahagia Bersama.
***
Prof. Alimatul Qibtiyah, Ph.D., adalah seorang profesor Kajian Gender di Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan telah menyelesaikan pendidikannya dari S1 dari tempat mengabdi sebagai dosen saat ini. S2 pertama di Psikologi UGM, S2 kedua di Women’s Studies Iowa Amerika dan S3 di University Werstern Sydney Australia. Alim Selain menjadi komisioner Komnas Perempuan (2020-2024) juga aktif di Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah dan Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Alim aktif sebagai narasumber dan peneliti baik nasional maupun internasional, paling tidak sampai tahun 2021 ini sudah ada 26 negara yang dia kunjungi. Alim menekuni persoalan feminis, gender, komunikasi dan seksualitas. Hampir semua tulisannya menggunakan perspektif feminis muslim progresif. Di antara karya terkini adalah Gender Contention and Social Recognition in Muslim Women’s Organizations in Yogyakarta dalam buku Indonesian Pluralities: Islam, Citizenship, and Democracy (2021), buku Feminisme Muslim di Indonesia (2019) dan beberapa artikel: Perebutan Tubuh Perempuan (2020), The Role of Muslim Women In Preventing Violent Extremism (PVE) In Indonesia (2019), Pengakuan Ulama dan Isu Perempuan di Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah (2018), Mapping of Muslims’ Understandings on Gender Issues in Islam at Six Universities in Yogyakarta, Indonesia (2018). Website pribadinya di www.genderprogressive.com. [email protected]
Buku memoar perjalanan pendidikannya berjudul “Takdir di Ujung Ikhtiar” diterbitkan oleh Penerbit Diomedia (2023) https://diomedia.id/product/takdir-di-ujung-ikhtiar/
tipobet
I was studying some of your articles on this internet site and I
think this internet site is rattling informative! Retain putting up.Blog
range
Thanks for sharing. I read many of your blog posts, cool, your blog is very good.