Berpuisi menjadi sarana memukau diri dengan bebas yang senantiasa meluncurkan kata-kata seperti peluru. Seolah memotret objek terbaik di hadapan mata kita, dan itu perlu.
Kita mencintai kata-kata sebagai kuasa aksara yang menentukan semua huruf dalam alfabetis. Tetapi berpuisi memiliki diksi tersendiri. Tentang pilihan kata yang tak terucap, namun bisa dengan lantang terlukiskan kuat. Bahkan berteriak sampai tenggorokan serak. Puisi mampu membebaskan. Sebagaimana Wiji Thukul bilang, “Hanya ada satu kata lawan!”
Apakah kita bisa melawan diri sendiri? Aku diri yang menantang dalam menjalani hidup senantiasa bergemuruh ketika harus menuangkan imajinasi. Terlebih jika tema yang dihadirkan sangat keakuan, menuju relung terdalam pada pandangan tertuju pada hakikat pengenalan sejati manusia: aku dri.
Lalu, kita mampu menikmati hijaunya daun di kejauhan, menjulangnya gunung di atas sana. Sampai desau angin semilir di laut yang tenang. Sampai pada saat kita bisa menikmati deburan ombak di laut lepas.
Mata kita terlatih untuk menerkam jejak diri yang merekam setiap kejadian. Tiap desahan napas dari dalam yang tertuju pada aku, gunung, laut, dan siapa lagi kalau bukan kamu.
Tidak bisa memiliki kamu adalah sebuah kesunyian masing-masing, seperti kata Chairil Anwar tentang hidup ini. Apakah benar? Pembenaran penyair ada benarnya, dan semua manusia pernah mengalaminya tentang sunyi dan sepi.
Buku puisi ini mengajak kita berselancar ke dalam diri yang penuh warna. Juga merasuk ke alam semesta. Semoga bisa memberi jeda dari hiruk pikuk dunia yang senantiasa berputar entah ke mana.
Dan terakhir, ajang menulis puisi sebagai sarana ekspresi diri menumbuhkan kreativitas tanpa batas dalam berimajinasi. Kita tunggu buku puisi tunggal dari teman-teman penyair yang ada di sini. Amin…
Selamat membaca!
user-794901 –
awesome