SETELAH SAPARDI PERGI

Lontar Fondation memproduksi profil Sapardi Djoko Damono
(SDD). Sapardi berkisah bahwa puisi bisa lahir dari mana
saja: pengalaman pribadi, dongeng, karya sastra lain.
Pengakuannya mencengangkan karena ia pernah menulis 18
sajak dalam semalam. Ia merasa waktu luang yang banyak untuk
berkarya dan merasa sepi yang luar biasa dan memantik proses
kreatif pada puisi yang ia tulis. Ia terus menulis. Tak hanya
produktif menulis puisi, novel, kajian sastra, menerjemahkan
karya sastra dunia, tentu saja aktif mengajar dan diskusi.
Puisi-puisinya tersebar di majalah, koran, dan tentu saja buku.
Dia menulis puisi sejak SMP. Dia mengubah kejadian, gambar,
kalimat yang datang padanya dalam bentu baru. Keterampilan
berbahasanya berkembang pesat. Kesastrawanannya terakui.
Jasa sastrawan baginya adalah menyegarkan bahasa yang baru.
Linda Christanty menulis obituari di laman Facebooknya,
“Selamat Jalan, Maestro: mengenang penyair Sapardi Djoko
Damono”. Di akhir paragraf Linda menyebut bahwa “Barangkali
ia penyair yang paling banyak ditangisi kepergiannya dan ia
telah menjauh dari sebuah zaman yang pernah tidak sepenuhnya
gelap berkat sajak-sajaknya. Sajak-sajak itu abadi dalam
ingatan kita. Terima kasih banyak, Pak Sapardi. Selamat
jalan, Maestro”.
Di harian Kompas, Senin, 20 Juli 2020, Seno Gumira Ajidarma
menulis Duka Bulan Juni in Memoriam Sapardi Djoko Damono.
Menurut Seno, SDD bukan saja produktivitasnya di usia
lanjut seperti lokomotif, dengan kualitas tak pernah anjlok,
entrepreneurship-nya sebagai “boss” penerbitan yang gambar
gambar sampulnya digubah sendiri juga teladan bagi manula.
xxxiii
Semestinyalah memberi makna lebih baik bagi istilah “mental
pensiunan”.
Saat saya mendapat informasi kepergian SDD, saya menghela
napas sejenak. Lalu berdoa agar SDD mendapatkan tempat
yang terbaik di sisi-Nya. Kemudian secara reflek tangan
saya membuka instagram SDD. Betapa terharu, beliau
mengikuti instagram saya. Dua perjumpaan ingatan di Balai
Soedjatmoko dan Gramedia Slamet Riyadi Surakarta beberapa
tahun lalu memberi arti sendiri ketika saya meminta SDD
menandantangani beberapa buku karyanya. Saya pun merenung
sejenak dan meniatkan diri membuat persembahan bersama
teman-teman memoaris untuk menulis memoar tribute to SDD.
Tetapi, teman-teman memoaris menyarankan untuk menulis
puisi yang dipersembahkan kepada SDD. Jadilah buku sehimpun
puisi tribute to Prof. Dr. Sapardi Djoko Damono yang di tangan
Anda ini.
Kita mengetahui bahwa tak ada pensiun berkarya bagi SDD.
Unggahan terakhir yang saya lihat di instagram SDD sedang
menulis novel Minuman Keras (work in progress). A.S. Laksana
di kolom Halte Jawa Pos 30 Agustus 2020 di esainya berjudul
Mengenang Dua Sahabat di Bukit Menoreh yang menceritakan
pergulatan batin bersama dua sastrawan besar Indonesia yaitu
Ajip Rosidi dan Sapardi Djoko Damono. Ketika Ajip Rosidi
mendirikan penerbit Pustaka Jaya, SDD mendukung penuh
sahabatnya itu dengan kerja penerjemahan yang ia lakukan
sehingga bangsa Indonesia bisa menikmati bacaan bermutu
kelas dunia dari kesusastraan bangsa lain.
A.S. Laksana menuturkan, “Air mata saya mengucur tak
tertahankan ketika mendengar kabar ia meninggal dan selama
tiga hari saya hanya menghabiskan waktu dengan membaca
puisi-puisinya. Itu tindakan yang memperkuat kesedihan
atas kematiannya. Tetapi, saya membiarkan diri menikmati
perasaan sedih itu”. Begitu pula di buku yang sedang Anda
timang ini, nuansa sedih tak terkira menyebar. Setelah
Sapardi Pergi memantik kita semua untuk terus berkarya tanpa
kenal pensiun dan terus mencintai sastra.