Ada baiknya saya membuka pengantar ini dengan sedikit cerita tentang sufi agung Jalaluddin Rumi (1207 – 1273).
Di antara toko-toko yang menjual oleh-oleh di Mevlana Cardessi, di seberang Kubah Hijau, Konya, Turki, sufi itu adalah lukisan seorang lelaki tua: janggut dan rambutnya putih, dengan ‘sikke’, topi coklat – abu-abu yang dibikin menyerupai bentuk batu nisan. Agak menunduk, matanya redup, ia duduk bersila, tenggelam di atas sajadah dengan seutas tasbih di tangan.
Masih di deretan toko yang sama di Mevlana Cardessi, Rumi adalah seorang tua yang telah bangkit dari tafakurnya. Ia menari, berputar, jubahnya yang putih mengembang, membentuk lingkaran lebar. Rumi yang satu ini terbuat dari patung keramik yang dicat putih, memperlihatkan dirinya sebagai seorang darwis, ‘the whirling dervish’. Rumi melakukan ‘sama’. Kedua tangannya terentang. Tangan kanannya menengadah, menerima yang kudus dari langit; tangan kirinya menelungkup menebar berkah ke muka bumi.
Semenjak pertemuannya yang singkat tapi mengguncang dengan Syamsi Tabrizi, seorang sufi pengembara yang eksentrik di tahun 1245, Rumi berubah: dari seorang ustad terhormat yang menguasai yurisprudensi Islam menjadi penyair “sinting” yang tak lagi melihat perbedaan di antara semua hal di dunia. Jalaludin Rumi telah jatuh cinta, terbakar dalam cintanya kepada Sang Kekasih. Dalam sebuah tulisannya, ia menggambarkan perjalanan spiritualnya yang dramatis: dari “mentah, masak”, kemudian “gosong-terbakar” oleh cinta ilahiah.
Seumur-umur Rumi berusaha menyidik apa yang tersembunyi di balik semua, mencoba menangkap hakikat segala sesuatu. Sekarang ia telah sampai di ujung jalan, dan menyaksikan semua itu satu. Di balik keragaman bentuk-bentuk yang bertebaran di depan matanya, terdapat satu prinsip transendental yang mutlak. Itulah Kebenaran Tertinggi, ‘the ultimate reality’, menurut istilah para ahli metafisika.
Di kompleks Kubah Hijau, tempat jenazah Rumi disemayamkan, ada sebuah kolam jernih, dengan air mancur berhias kepala singa di tengah-tengah dan empat sisinya. Semuanya sempurna, seolah-olah tak ada yang suram dan lusuh di kompleks itu –kecuali bunyi ‘ney’, seruling bambu muda yang perlahan dan menyayat. Bunyinya mengalir dari pengeras suara kemudian bergabung dengan gemericik air kolam. Ney bukan instrumen tiup biasa. Ia merupakan bagian dari tradisi maulawiyah, aliran tarekat yang sangat banyak berutang pada pikiran-pikiran Jalaludin Rumi.
Ada komposisi ‘ney’ sederhana yang tak pernah jelas siapa penulisnya. Basta-i Qadim atau komposisi kuno bercerita tentang cinta, pengalaman mistis menakjubkan, juga seruling yang istimewa. Ney seruling yang musiknya hanya bisa menyanyikan perpisahan, mengutarakan kerinduan untuk kembali ke asal. Kerinduan akan rumah, pulang ke habitat semula ke tepian sungai –suatu metafor Sang Pencipta.
Dengarlah seruling itu,
Bagaimana ia meratapi perpisahannya,
“Aku terkoyak
Ingin berbagi penderitaan ini
Dan siapa pun yang terpisah dari asalnya
Akan merindukan pertemuan itu.” (Nyanyian Seruling – Matsnawi)
Rumi mengambil contoh seruling ney untuk melukiskan kondisi dan perjalanan mistis para sufi. Yaitu, mereka yang mengharapkan pertemuannya dengan Sang Kekasih.
Keterasingan, penderitaan, dan keterperpisahan adalah tema sentral dalam pemikiran-pemikiran dan hidup Rumi. Mohamad Iqbal, pemikir Islam Pakistan mengungkapkannya dengan kata-kata yang tepat. “Ada kepedihan yang tak asing bagi kita,” komentarnya tentang Rumi.
Namun perjalanan ini tidak berawal dari penderitaan, melainkan dari persatuan: seperti bersatunya bambu muda dengan habitatnya sebelum ia dipetik dan dibentuk menjadi seruling buluh. Ya, persatuan dengan Yang Absolut merupakan awal dari semua. Dan penderitaan, keterpisahan, alienasi, merupakan keadaan yang harus dilalui sebelum akhirnya ia bersatu kembali dengan sang Pencipta.
Rumi membandingkan penderitaan dan kepedihan dengan seorang tamu yang mengetuk pintu. “Kepedihan ini membimbing kita,” katanya. Tentu, ada yang nostalgis dari ratapan ney itu.
Cinta Tuhan-lah yang mendorong semua ini. “Tapi pantulan cinta Tuhan yang paling penuh berada di dalam diri manusia. Manusia memiliki cinta ‘imitasi’ yang suatu saat bisa menjadi ‘cinta sejati’,” kata William Chittick, salah seorang pakar tasawuf Rumi yang paling mencorong –setelah Sayyed Hussein Nasr– ini.
Sebagai “anak bawang”, saya “berkenalan” dengan Maulana Jalaluddin Rumi melalui tugas kantor Tempo untuk meliput simposium tentang sang maulana di Istanbul dan Konya pada bulan Mei 2007. Ketertarikan pada Rumi sebenarnya sudah muncul beberapa tahun sebelumnya: kala saya mengunjungi kota kelahiran sang sufi agung, Balkh, kini Afghanistan, lewat perjalanan yang panjang dan berliku. Tapi hal itu belum membukakan jalan saya untuk bertemu tokoh sekelas William Chittick atau Sayyed Hussein Nasr. Kesempatan yang baru terbuka lebar dalam simposium di Istanbul dan Konya.
Mohon maaf sidang pembaca. Saya memang jatuh cinta dengan Rumi. Tapi puisi-puisi saya sebenarnya berbicara tentang banyak hal: spiritualitas, sejarah, politik, bahkan musik. Saya sangat berutang kepada para penyair seperti Toto Sudarto Bachtiar, Chairil Anwar, WS Rendra, Sitor Situmorang, Zawawi Imron, Ramadhan KH, atau Abdul Hadi WM yang melalui karya-karyanya telah memperkenalkan puisi kepada saya, seorang pemuda yang “buta” puisi.
Saya bukan penyair. Saya hanya seorang wartawan yang mencatat kejadian penting, lantas menuliskannya untuk para pembaca. Namun di antara kesibukan rutin seorang wartawan, perlahan-lahan muncul kesadaran bahwa prosa memiliki keterbatasan untuk menangkap esensi kejadian. Dari situlah saya mulai menulis puisi …
Ronaldhax –
FlipBooks are a great addition
to any passive income strategy. Because once you create a FlipBook, market it, share it & Earn it, it can technically sell itself.
Learn More https://www.youtube.com/watch?v=JfRrd79oCfk?19767